Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data
Oleh Rahman Adi Nugroho/IHB4/1902056051
Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data
Pengolahan
data untuk optimalisasi penerimaan pajak telah dimulai sejak awal kemerdekaan
dimana kebutuhan analisis data makin mendesak seiring dengan berkembangnya
teknologi digital dan tercapainya kesepakatan saling bertukar data antarnegara.
Yang menjadi faktor penting dalam pengolahan data ini adalah negara harus
membangun institusi yang dapat mengumpulkan, mengolah, menganalisis, dan
menggunakan data tersebut untuk meningkatkan penerimaan. Proses penataan sistem
data pada DJP akan terus berjalan karena saat ini juga ada upaya penguatan
proses bisnis secara digital dengan pembaruan sistem inti administrasi
perpajakan atau core tax administration system.
Apabila
dilhat dari segi sosial-ekonomi terlihat bahwa kemampuan DJP untuk melakukan
analisis dan membangun sebuah ekosistem big data perpajakan juga
menjadi sangat penting. Selain itu, diperlukan adanya komitmen pemerintah untuk
mendukung peningkatan sumber daya manusia (SDM) di bidang perpajakan agar
memiliki kemampuan untuk menganalisis data. Proses penggalian potensi pajak
yang dilakukan adalah menggunakan pendekatan makro dan pendekatan mikro serta
juga menggunakan modelling tax gap, yang dalam konteks ini, data
instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya (ILAP) digunakan untuk
menjembatani antara pendekatan makro dan pendekatan mikro.
Kendati
dijembatani dengan data dan informasi itu, kedua pendekatan tidak selamanya
cocok. Pasalnya, jika diketahui secara pendekatan makro ada salah satu sektor
yang memiliki tax gap tinggi, otoritas masih perlu
menerjemahkan lagi dari sisi mikro, baik dari orangnya, lokasi, dan sebagainya.
Tax gap disini diartikan sebagai perbedaan antara jumlah pajak yang secara
teori harus dibayar ke negara dengan jumlah pajak yang sebenarnya dibayar. Tax
gap merupakan salah satu ukuran kinerja perpajakan yang akurat untuk mengukur
selisih antara potensi penerimaan dan realisasi penerimaan pajak. Indikator Tax
gap ini juga sering dipergunakan untuk menggambarkan ketidakpatuhan pajak
dengan lebih tepat (direct).
Terkait
sektor ekonomi yang masih memiliki tax gap tinggi, besarnya
kontribusi suatu sektor ekonomi terhadap penerimaan negara tidak menjadi
jaminan tidak adanya tax gap. Pasalnya, dari suatu sektor ekonomi, ada berbagai macam subsektor.
Dengan demikian, ada potensi tidak semua subsektor memiliki tax
gap yang rendah. Selain itu, jika ada suatu sektor yang
memiliki tax gap tinggi belum tentu subsektornya juga
demikian. Tidak ada negara di dunia ini yang tax gap-nya zero.
Jadi, misal sektor A rendah (tax gap-nya), tidak seluruh sub-sektornya
rendah. Jika dilihat dalam satu sektor ini ada satu sub sektor yang bermasalah,
maka akan di address.
Dari
segi Hukum dan Perundang-undangan, untuk menyelesaikan berbagai tantangan
terkait potensi pajak dapat dilakukan melalui program reformasi perpajakan. Sejak
penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2012, Menteri Keuangan Sri Mulyani
menyebut cakupan informasi yang dikumpulkan DJP sudah makin komprehensif. Melalui langkah atau cara tersebut, pemerintah
memberikan kewenangan kepada DJP untuk mendapatkan data dan informasi dari
instansi, lembaga, asosiasi, pihak lainnya (ILAP) demi kepentingan penggalian
potensi pajak.
Melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012, Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
memiliki kewenangan untuk mendapatkan data dan informasi dari instansi,
lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya (ILAP). Total 80 negara, 69 instansi,
dengan 337 jenis data yang meliputi data transaksi, data identitas, data
perijinan, dan data yang sifatnya nontransaksional diperoleh dan digunakan DJP
untuk menggali potensi perpajakan, membangun basis data, dan analisa potensi
dan risiko. Namun, dalam penggunaan data-data tersebut, DJP masih menghadapi
tantangan khususnya saat melakukan data yang cocok/sebanding.
Secara legal juga yang menyatakan jika saat ini penduduk Indonesia memiliki 40 nomor identitas. Nomor identitas itu memiliki sistem sendiri-sendiri, tersebar di berbagai lembaga atau instansi, banyaknya nomor identitas dengan sistem yang belum terintegrasi menjadikan data tidak mudah untuk dianalisis. Data yang terintegrasi akan bermanfaat untuk mengidentifikasi transaksi, aset, dan keterangan lain terkait wajib pajak. Mengutip dari pendapat Menkeu Sri Mulyani bahwasannya meyakini dengan data dan sistem yang semakin lengkap maka akan analisa yang dihasilkan semakin akurat, baik yang sifatnya prediktif maupun perspektif, untuk membuat proyeksi dan membuat rekomendasi kebijakan. Selain di bidang perpajakan, sistem data yang terintegrasi akan memudahkan pemerintah untuk memberikan bantuan sosial, subsidi, atau intervensi lainnya.
Komentar
Posting Komentar